Malam ini hujan
turun dengan syahdu. Seolah ingin mengatakan bahwa, ‘aku jatuh ke bumi bukan
untuk menyusahkan manusia. Aku hanya jatuh bebas, dan seharusnya manusia bisa
menyediakan jalan untukku menuju muara yang luas dan menenangkan’.
Aku masih asik
berbaring di kamarku, sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih
bersih, pikiranku melayang jauh. Banyak khayalan yang kulambungkan tinggi. Dan
aku tau khayalan itu akan selalu ada di atas sana, tak mungkin diraih dan aku
tak pernah khawatir semua itu akan terjatuh dan berdebam keras di lantai
kamarku.
Aku suka
berkhayal, apalagi ditemani hujan. Aroma hujan yang menelusup ke kamarku
melalui celah-celah jendela kamar membuatku merasa nyaman dan damai seolah
hujan mendukungku untuk terus berkhayal. Tentang apapun... dan hujan tidak
pernah komplain padaku.
Aku sering
berkhayal tentang dia, sesekali tentang kamu. Iya, aku memang lebih nyaman
berkhayal tentang dia. Khayalanku selalu sederhana, tak pernah aku
mengkhayalkan hal hebat bersama dia. Seperti yang satu ini. Aku berjalan dengan
dia, bergandengan tangan menyusuri pinggir pertokoan sambil menikmati suasana
malam hari.
Iya, aku tau
apa yang ada di pikiran kalian. Kenapa aku harus berkhayal berjalan di
pinggir pertokoan? Kenapa aku tidak berjalan di tengah taman yang indah? Di
sebuah istana yang megah? Ah... itu terlalu basi, terlalu monoton. Aku lebih
suka jalan di depan pertokoan, sambil menikmati malam. Bagiku itu jauh lebih
mengesankan dan menyenangkan.
Aku kembali
melanjutkan khayalanku. Saat sedang asik-asiknya menyusuri pertokoan tiba-tiba
hujan turun dengan derasnya. Dan hujan yang ada di khayalanku itu tidak terasa
dingin sama sekali. Entah... ini karena memang aku yang sengaja mengkhayalkan
bahwa hujan malam itu tidak dingin atau karena hujan merestui kisahku bersama
dia malam itu.
Ini yang aku
suka dari hujan, karena hujan tidak pernah pilih kasih. Dia bisa membasahi
siapa saja yang ada di jalanan. Tak peduli ada anak presiden, pengacara
terkenal, tukang becak atau mungkin... pengemis di perempatan jalan.
Hujan selalu
adil, memberi kesempatan kepada setiap orang yang berteduh untuk bisa bertegur
sapa. Dengan catatan kalo orang itu memang suka bicara dan tentu saja ramah.
Hujan memang benar-benar adil, hujan selalu memberi kesempatan setiap orang
yang berbeda golongan untuk merasakan dingin yang sama, hal ini bisa dilihat
dari orang-orang di sekitarku yang sepertinya menggigil. Mmm.. tentu saja ada
pengecualian untukku, karena aku tidak kedinginan malam itu. Yah.. hujan
ternyata bisa juga bersikap enggak adil. Mungkin, hal itu hanya berlaku
kepadaku saja.
Dari sekian
banyak orang yang menggigil, aku melihat wajah dia yang hampir kosong. Ah...
andai saja aku adalah cowok yang peka, seharusnya aku memakai jaket malam itu.
Ini semua karena aku terlalu yakin malam itu hujan tidak akan datang. Tapi
ternyata, dengan syahdunya hujan turun membasahi sekitarnya tanpa permisi dulu
kepadaku.
Mungkin aku
harus menyalahkan hujan. Tapi mungkin saja hujan turun dengan sengaja malam itu
karena hujan ingin aku bisa memanfaatkan kesempatan ini. Kesempatan saat
terjebak di sebuah toko bersama dia, akan tetapi... aku justru tidak bisa
menawarkan jaket kepadanya.
Ini memang
salahku, aku tidak pernah bisa bertindak cepat. Aku hanya diam melihatnya
kedinginan, aku ingin memeluknya, sangat-sangat ingin memeluknya. Mungkin untuk
sekedar menghangatkan tubuhnya yang tampak begitu kedinginan. Tapi aku berpikir
seribu kali untuk melakukan ini. Aku tidak punya nyali, aku cowok yang tidak
berani mengambil resiko.
Aku menghela
nafas panjang, masih menatap langit kamar malam itu. Aku masih terpaku,
membayangkan khayalanku tadi. Ternyata, aku memang terlalu lemah sebagai
laki-laki. Bahkan, di dalam khayalanku pun, aku masih saja melakukan hal
bodoh dan tidak berani untuk mendekapnya. Apalagi saat itu dia tengah
kedinginan!
Aku masih terus
saja menikmati hujan, menikmati suaranya yang menyejukkan hati ini. Mungkin aku
tak pernah berani mendekapnya, menghangatkannya. Tapi aku akan selalu
mengkhayalkan tentang dia, apalagi saat hujan turun. Biarlah aku hidup dalam
kebodohan ini, karena bagiku perasaan ini tak ada artinya untuk diungkapkan.
Karena aku pasti akan mati saat aku benar-benar berhadapan dengannya dan
menatap matanya. Karena dia terlalu indah, bukan hanya untuk kumiliki.
Bahkan untuk sejenak kusentuh.