Pages - Menu

Minggu, 26 Januari 2014

Hujan dan Khayalan Tentang Dia

Malam ini hujan turun dengan syahdu. Seolah ingin mengatakan bahwa, ‘aku jatuh ke bumi bukan untuk menyusahkan manusia. Aku hanya jatuh bebas, dan seharusnya manusia bisa menyediakan jalan untukku menuju muara yang luas dan menenangkan’.

Aku masih asik berbaring di kamarku, sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih, pikiranku melayang jauh. Banyak khayalan yang kulambungkan tinggi. Dan aku tau khayalan itu akan selalu ada di atas sana, tak mungkin diraih dan aku tak pernah khawatir semua itu akan terjatuh dan berdebam keras di lantai kamarku. 

Aku suka berkhayal, apalagi ditemani hujan. Aroma hujan yang menelusup ke kamarku melalui celah-celah jendela kamar membuatku merasa nyaman dan damai seolah hujan mendukungku untuk terus berkhayal. Tentang apapun... dan hujan tidak pernah komplain padaku.

Aku sering berkhayal tentang dia, sesekali tentang kamu. Iya, aku memang lebih nyaman berkhayal tentang dia. Khayalanku selalu sederhana, tak pernah aku mengkhayalkan hal hebat bersama dia. Seperti yang satu ini. Aku berjalan dengan dia, bergandengan tangan menyusuri pinggir pertokoan sambil menikmati suasana malam hari.


Iya, aku tau apa yang ada  di pikiran kalian. Kenapa aku harus berkhayal berjalan di pinggir pertokoan? Kenapa aku tidak berjalan di tengah taman yang indah? Di sebuah istana yang megah? Ah... itu terlalu basi, terlalu monoton. Aku lebih suka jalan di depan pertokoan, sambil menikmati malam. Bagiku itu jauh lebih mengesankan dan menyenangkan.

Aku kembali melanjutkan khayalanku. Saat sedang asik-asiknya menyusuri pertokoan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Dan hujan yang ada di khayalanku itu tidak terasa dingin sama sekali. Entah... ini karena memang aku yang sengaja mengkhayalkan bahwa hujan malam itu tidak dingin atau karena hujan merestui kisahku bersama dia malam itu.

Ini yang aku suka dari hujan, karena hujan tidak pernah pilih kasih. Dia bisa membasahi siapa saja yang ada di jalanan. Tak peduli ada anak presiden, pengacara terkenal, tukang becak atau mungkin... pengemis di perempatan jalan.

Hujan selalu adil, memberi kesempatan kepada setiap orang yang berteduh untuk bisa bertegur sapa. Dengan catatan kalo orang itu memang suka bicara dan tentu saja ramah. Hujan memang benar-benar adil, hujan selalu memberi kesempatan setiap orang yang berbeda golongan untuk merasakan dingin yang sama, hal ini bisa dilihat dari orang-orang di sekitarku yang sepertinya menggigil. Mmm.. tentu saja ada pengecualian untukku, karena aku tidak kedinginan malam itu. Yah.. hujan ternyata bisa juga bersikap enggak adil. Mungkin, hal itu hanya berlaku kepadaku saja. 

Dari sekian banyak orang yang menggigil, aku melihat wajah dia yang hampir kosong. Ah... andai saja aku adalah cowok yang peka, seharusnya aku memakai jaket malam itu. Ini semua karena aku terlalu yakin malam itu hujan tidak akan datang. Tapi ternyata, dengan syahdunya hujan turun membasahi sekitarnya tanpa permisi dulu kepadaku.

Mungkin aku harus menyalahkan hujan. Tapi mungkin saja hujan turun dengan sengaja malam itu karena hujan ingin aku bisa memanfaatkan kesempatan ini. Kesempatan saat terjebak di sebuah toko bersama dia, akan tetapi... aku justru tidak bisa menawarkan jaket kepadanya.

Ini memang salahku, aku tidak pernah bisa bertindak cepat. Aku hanya diam melihatnya kedinginan, aku ingin memeluknya, sangat-sangat ingin memeluknya. Mungkin untuk sekedar menghangatkan tubuhnya yang tampak begitu kedinginan. Tapi aku berpikir seribu kali untuk melakukan ini. Aku tidak punya nyali, aku cowok yang tidak berani mengambil resiko.

Aku menghela nafas panjang, masih menatap langit kamar malam itu. Aku masih terpaku, membayangkan khayalanku tadi. Ternyata, aku memang terlalu lemah sebagai laki-laki. Bahkan,  di dalam khayalanku pun, aku masih saja melakukan hal bodoh dan tidak berani untuk mendekapnya. Apalagi saat itu dia tengah kedinginan!

Aku masih terus saja menikmati hujan, menikmati suaranya yang menyejukkan hati ini. Mungkin aku tak pernah berani mendekapnya, menghangatkannya. Tapi aku akan selalu mengkhayalkan tentang dia, apalagi saat hujan turun. Biarlah aku hidup dalam kebodohan ini, karena bagiku perasaan ini tak ada artinya untuk diungkapkan. Karena aku pasti akan mati saat aku benar-benar berhadapan dengannya dan menatap matanya. Karena dia terlalu indah,  bukan hanya untuk kumiliki. Bahkan untuk sejenak kusentuh.

Sabtu, 25 Januari 2014

Ini Tentang Kamu yang Enggak Harus Kamu Tau

Kita berteman udah lama, kira-kira empat tahun yang lalu. Awal pertama kali kita bertemu, aku melihat kamu adalah sesosok gadis yang childish dan ceria. Saat itu aku baru sekilas saja melihatmu, saat tidak sengaja berpapasan lewat di depan masjid kampus. Kamu tertawa melihatku... karena mungkin sebelumnya kamu paham dengan wajahku gara-gara kepedeanku saat acara ospek. Tapi aku senang! Karena itu artinya, kamu udah kenal wajahku walaupun belum mengenal namaku.

Setelah ospek selesai, aku benar-benar berharap bisa merasakan satu kelas bersamamu saat kuliah nanti. Bukannya aku mau mencoba mendekatimu dan menjadikanmu pacar loh. Tidak, tidak... kamu terlalu cantik dan ‘wah’ buatku. Aku hanya ingin berada di dekatmu. Menikmati setiap sudut gerakmu dan tawa riangmu.

Aku suka segala tingkahmu, rambut lurusmu sepunggung dan ujungnya ikal, gigi gingsul di bagian atas kanan, wajah yang putih bersih serta keningmu yang agak lebar. Hehehe... kamu terlihat menggemaskan dengan semua itu. Iya, kamu enggak terlalu tinggi... mungkin tinggimu hanya 155 cm., tapi aku suka.. karena kamu terlihat imut-imut.

Sebenernya aku sempat kecewa karena kita ternyata enggak satu kelas, tapi aku  bersyukur karena akhirnya kita gabung di satu komunitas yang sama. Rasanya... aku gak perlu menyebutkan komunitas apa itu, yang terpenting dalam satu komunitas ini aku bisa dekat dengan kamu. Dan ternyata aku baru tau, kamu itu orangnya gampang berteman sama siapa aja.