Aku
sedang melakukan pekerjaan yang sama seperti hari-hariku sebelumnya, yaitu
membuka profil Facebook Aya, dan melihat-lihat koleksi fotonya. Di dalam layar
komputer berwarna hitam itu, aku melihat Aya memonyongkan bibirnya dengan
senyumnya yang khas, dan masih saja dihiasi lesung pipinya yang sempurna. Sama,
seperti delapan tahun yang lalu—saat terakhir aku melihat Aya.
Iya,
sudah delapan tahun lamanya, sejak Aya memutuskan hubungan kami harus berakhir.
Dan selama delapan tahun itu pula, aku tak pernah bisa benar-benar melupakan
Aya dari ingatanku. Karena.. memang selalu saja ada alasan untuk
membuatku mengingat Aya.
Aku
dan Aya pernah menjalani hubungan selama satu setengah tahun. Selama itu pula,
banyak kisah yang pernah kita lalui bersama. Walaupun dulu aku bukan tipe cowok
romantis, Aya tidak pernah mempermasalahkannya. Iya, dulu, saat kita pacaran...
aku hampir tidak pernah sanggup mengucapkan kata ‘I Love You’ atau ‘Aku sayang
kamu’ pada Aya. Bukan, bukan karena aku tak sayang, bukan pula karena aku
tidak mencintai Aya. Aku hanya malu. Itu saja.. Bahkan selama pacaran, aku
tetap saja memanggil Aya dengan namanya. Bukan dengan panggilan Bebh, Yank,
atau Bund, seperti pada umumnya orang pacaran.
Aku
masih betah melihat foto Aya di album Facebooknya. Kali ini aku melihat Aya,
masih dengan senyum yang sama, namun dengan gaya yang berbeda. Dia mengenakan
gaun berwarna hitam dengan balutan ungu di tepiannya. Sepertinya itu adalah
foto Aya saat sedang berada di acara paduan suara. Karena yang aku tau, Aya
adalah mahasiswa seni musik di kampusnya.
Aku
menghembuskan nafas perlahan...