Pages - Menu

Selasa, 30 Desember 2014

Wisuda Ajaib

Martabak Asam Manis

Penulis : Fico Fachriza
Penerbit : Bukune
Tahun Terbit : 2014
ISBN : 602-220-138-1
Jumlah Hal. : 178 Halaman

Deskripsi:
“Tes, tes!”
Gue ngecek mic sambil lirik-lirik malu ke penonton.
“Halo nama gue Fico dan ini kali pertama gue open mic.” Penonton tepuk tangan. Wuisss…, percaya diri gue naik.

 Gue langsung masuk bit pertama. "Menurut gue, kecap sering diremehkan. Padahal penting, loh! Kalo nggak ada kecap, bisa-bisa nasi uduk sama nasi goreng ketukar. Kasihan nasi uduk yang sudah dengki banget sama nasi goreng karena lebih dulu go international."
Hening.


Penonton sibuk masing-masing. Ada yang tidur, ada yang baca koran, ada yang nidurin koran, Gue udah kayak loper koran di lampu ijo.
Nggak dianggep dan ditelan asap knalpot.
***
Seperti martabak lezat yang terbuat dari perpaduan bahan masakan, cerita Fico pun dibentuk dari banyak cerita. Telur itu seperti Fico yang lucu dan bundar. Baking powder-lah membuatnya mengembang. Taburan cokelat keju memberi rasa manis dan asin dalam hidupnya. Semua itu dicampur dan diolah menjadi ‘Martabak Asam Manis’ yang gurih-gurih enyoy.

                                             ***

Wisuda mungkin tidak menjadi jaminan setelahnya akan mendapat pekerjaan yang layak dan sesuai dengan gelarnya. Namun, bagi sebagian besar mahasiswa, wisuda tetap menjadi impian yang ingin selalu cepat-cepat diraih. Kecuali ada beberapa yang mungkin sudah merasakan sukses terlebih dahulu sebelum wisuda, hingga akhirnya keinginan meneruskan kuliah sampai wisuda jadi terbengkalai.

Bagiku sendiri, wisuda adalah pembuktianku kepada orang tua. Bahwa aku bias memenuhi harapan mereka, sekaligus bukti bahwa aku kuliah tidak main-main.

Aku menargetkan wisuda tahun ini, bulan Desember. Setelah sebelumnya teman-teman telah meninggalkanku terlebih dahulu karena sudah wisuda dulu di bulan September kemarin. Dan sejak ditinggal teman-teman, perasaan untuk segera wisuda semakin memenuhi pikiranku sehingga mau gak mau aku harus berusaha bisa menyusul wisuda Desember tahun ini.

Awalnya aku sempat pesimis. Bulan September lalu, saat teman-teman seperjuangan yang gagal wisuda bulan September sudah memulai skripsinya dan beberapa kali bimbingan. Aku belum memulainya sama sekali.

Aku memang terlalu malas untuk menyentuh skripsiku, selain faktor kebagian dosen pembimbing pertama yang ‘gak enak’, dosen pembimbing keduaku juga sama 'gak enak'-nya. Alhasil, semangat mengerjakan skripsiku benar-benar berada di titik nadir.





Dorongan dan semangat dari teman-teman gak pernah berhenti agar aku mulai semangat mengerjakan skripsiku. Aku masih tetap saja bergeming. Merasa sangat malas... kehidupanku setiap hari hanya dihabiskan untuk tiduran, makan, tiduran, dan sesekali mandi. Monoton. Disaat temen-temen lain sibuk buka laptopnya siang malam demi skripsi, aku malah buka bungkus mie instant setiap hari.

Kamis, 25 Desember 2014

Tentang Hidup


Hidup itu terlalu mudah. Aku pernah dengan sombongnya mengatakan kalimat itu, saat aku merasa banyak keberuntungan datang padaku. Saat rejeki datang gak berhenti-berhenti, meskipun aku tak lupa cara bersyukur, namun tetap saja, aku terlalu sombong saat itu.

Hingga pada akhirnya, aku tahu… hidup tak semudah kata-kataku saat itu. Tuhan telah menegurku dengan indah. Memberikan banyak masalah secara bersamaan, dan sekarang mungkin Tuhan sedang ingin mengujiku. Apakah disaat seperti ini aku masih bisa dengan jumawa mengatakan ‘hidup itu terlalu mudah’.

Pada akhirnya semua yang terlihat mudah tidak akan abadi. Aku memahami itu, hidup memang perjuangan. Aku memang tidak lupa cara bersyukur, tapi aku lupa, bahwa aku manusia biasa yang tidak perlu merasa sombong.

Manusia itu hanya perlu memahami. Hidup selalu berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Dan saat kita sedang berada di atas, kita memang tidak perlu lupa cara bersyukur.


Minggu, 13 April 2014

Mantan Terindah

Aku sedang melakukan pekerjaan yang sama seperti hari-hariku sebelumnya, yaitu membuka profil Facebook Aya, dan melihat-lihat koleksi fotonya. Di dalam layar komputer berwarna hitam itu, aku melihat Aya memonyongkan bibirnya dengan senyumnya yang khas, dan masih saja dihiasi lesung pipinya yang sempurna. Sama, seperti delapan tahun yang lalu—saat terakhir aku melihat Aya.

Iya, sudah delapan tahun lamanya, sejak Aya memutuskan hubungan kami harus berakhir. Dan selama delapan tahun itu pula, aku tak pernah bisa benar-benar melupakan Aya dari ingatanku. Karena..  memang selalu saja ada alasan untuk membuatku mengingat Aya.

Aku dan Aya pernah menjalani hubungan selama satu setengah tahun. Selama itu pula, banyak kisah yang pernah kita lalui bersama. Walaupun dulu aku bukan tipe cowok romantis, Aya tidak pernah mempermasalahkannya. Iya, dulu, saat kita pacaran... aku hampir tidak pernah sanggup mengucapkan kata ‘I Love You’ atau ‘Aku sayang kamu’ pada Aya.  Bukan, bukan karena aku tak sayang, bukan pula karena aku tidak mencintai Aya. Aku hanya malu. Itu saja.. Bahkan selama pacaran, aku tetap saja memanggil Aya dengan namanya. Bukan dengan panggilan Bebh, Yank, atau Bund, seperti pada umumnya orang pacaran.

Aku masih betah melihat foto Aya di album Facebooknya. Kali ini aku melihat Aya, masih dengan senyum yang sama, namun dengan gaya yang berbeda. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan balutan ungu di tepiannya. Sepertinya itu adalah foto Aya saat sedang berada di acara paduan suara. Karena yang aku tau, Aya adalah mahasiswa seni musik di kampusnya.

Aku menghembuskan nafas perlahan...

Minggu, 26 Januari 2014

Hujan dan Khayalan Tentang Dia

Malam ini hujan turun dengan syahdu. Seolah ingin mengatakan bahwa, ‘aku jatuh ke bumi bukan untuk menyusahkan manusia. Aku hanya jatuh bebas, dan seharusnya manusia bisa menyediakan jalan untukku menuju muara yang luas dan menenangkan’.

Aku masih asik berbaring di kamarku, sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih, pikiranku melayang jauh. Banyak khayalan yang kulambungkan tinggi. Dan aku tau khayalan itu akan selalu ada di atas sana, tak mungkin diraih dan aku tak pernah khawatir semua itu akan terjatuh dan berdebam keras di lantai kamarku. 

Aku suka berkhayal, apalagi ditemani hujan. Aroma hujan yang menelusup ke kamarku melalui celah-celah jendela kamar membuatku merasa nyaman dan damai seolah hujan mendukungku untuk terus berkhayal. Tentang apapun... dan hujan tidak pernah komplain padaku.

Aku sering berkhayal tentang dia, sesekali tentang kamu. Iya, aku memang lebih nyaman berkhayal tentang dia. Khayalanku selalu sederhana, tak pernah aku mengkhayalkan hal hebat bersama dia. Seperti yang satu ini. Aku berjalan dengan dia, bergandengan tangan menyusuri pinggir pertokoan sambil menikmati suasana malam hari.


Iya, aku tau apa yang ada  di pikiran kalian. Kenapa aku harus berkhayal berjalan di pinggir pertokoan? Kenapa aku tidak berjalan di tengah taman yang indah? Di sebuah istana yang megah? Ah... itu terlalu basi, terlalu monoton. Aku lebih suka jalan di depan pertokoan, sambil menikmati malam. Bagiku itu jauh lebih mengesankan dan menyenangkan.

Aku kembali melanjutkan khayalanku. Saat sedang asik-asiknya menyusuri pertokoan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Dan hujan yang ada di khayalanku itu tidak terasa dingin sama sekali. Entah... ini karena memang aku yang sengaja mengkhayalkan bahwa hujan malam itu tidak dingin atau karena hujan merestui kisahku bersama dia malam itu.

Ini yang aku suka dari hujan, karena hujan tidak pernah pilih kasih. Dia bisa membasahi siapa saja yang ada di jalanan. Tak peduli ada anak presiden, pengacara terkenal, tukang becak atau mungkin... pengemis di perempatan jalan.

Hujan selalu adil, memberi kesempatan kepada setiap orang yang berteduh untuk bisa bertegur sapa. Dengan catatan kalo orang itu memang suka bicara dan tentu saja ramah. Hujan memang benar-benar adil, hujan selalu memberi kesempatan setiap orang yang berbeda golongan untuk merasakan dingin yang sama, hal ini bisa dilihat dari orang-orang di sekitarku yang sepertinya menggigil. Mmm.. tentu saja ada pengecualian untukku, karena aku tidak kedinginan malam itu. Yah.. hujan ternyata bisa juga bersikap enggak adil. Mungkin, hal itu hanya berlaku kepadaku saja. 

Dari sekian banyak orang yang menggigil, aku melihat wajah dia yang hampir kosong. Ah... andai saja aku adalah cowok yang peka, seharusnya aku memakai jaket malam itu. Ini semua karena aku terlalu yakin malam itu hujan tidak akan datang. Tapi ternyata, dengan syahdunya hujan turun membasahi sekitarnya tanpa permisi dulu kepadaku.

Mungkin aku harus menyalahkan hujan. Tapi mungkin saja hujan turun dengan sengaja malam itu karena hujan ingin aku bisa memanfaatkan kesempatan ini. Kesempatan saat terjebak di sebuah toko bersama dia, akan tetapi... aku justru tidak bisa menawarkan jaket kepadanya.

Ini memang salahku, aku tidak pernah bisa bertindak cepat. Aku hanya diam melihatnya kedinginan, aku ingin memeluknya, sangat-sangat ingin memeluknya. Mungkin untuk sekedar menghangatkan tubuhnya yang tampak begitu kedinginan. Tapi aku berpikir seribu kali untuk melakukan ini. Aku tidak punya nyali, aku cowok yang tidak berani mengambil resiko.

Aku menghela nafas panjang, masih menatap langit kamar malam itu. Aku masih terpaku, membayangkan khayalanku tadi. Ternyata, aku memang terlalu lemah sebagai laki-laki. Bahkan,  di dalam khayalanku pun, aku masih saja melakukan hal bodoh dan tidak berani untuk mendekapnya. Apalagi saat itu dia tengah kedinginan!

Aku masih terus saja menikmati hujan, menikmati suaranya yang menyejukkan hati ini. Mungkin aku tak pernah berani mendekapnya, menghangatkannya. Tapi aku akan selalu mengkhayalkan tentang dia, apalagi saat hujan turun. Biarlah aku hidup dalam kebodohan ini, karena bagiku perasaan ini tak ada artinya untuk diungkapkan. Karena aku pasti akan mati saat aku benar-benar berhadapan dengannya dan menatap matanya. Karena dia terlalu indah,  bukan hanya untuk kumiliki. Bahkan untuk sejenak kusentuh.

Sabtu, 25 Januari 2014

Ini Tentang Kamu yang Enggak Harus Kamu Tau

Kita berteman udah lama, kira-kira empat tahun yang lalu. Awal pertama kali kita bertemu, aku melihat kamu adalah sesosok gadis yang childish dan ceria. Saat itu aku baru sekilas saja melihatmu, saat tidak sengaja berpapasan lewat di depan masjid kampus. Kamu tertawa melihatku... karena mungkin sebelumnya kamu paham dengan wajahku gara-gara kepedeanku saat acara ospek. Tapi aku senang! Karena itu artinya, kamu udah kenal wajahku walaupun belum mengenal namaku.

Setelah ospek selesai, aku benar-benar berharap bisa merasakan satu kelas bersamamu saat kuliah nanti. Bukannya aku mau mencoba mendekatimu dan menjadikanmu pacar loh. Tidak, tidak... kamu terlalu cantik dan ‘wah’ buatku. Aku hanya ingin berada di dekatmu. Menikmati setiap sudut gerakmu dan tawa riangmu.

Aku suka segala tingkahmu, rambut lurusmu sepunggung dan ujungnya ikal, gigi gingsul di bagian atas kanan, wajah yang putih bersih serta keningmu yang agak lebar. Hehehe... kamu terlihat menggemaskan dengan semua itu. Iya, kamu enggak terlalu tinggi... mungkin tinggimu hanya 155 cm., tapi aku suka.. karena kamu terlihat imut-imut.

Sebenernya aku sempat kecewa karena kita ternyata enggak satu kelas, tapi aku  bersyukur karena akhirnya kita gabung di satu komunitas yang sama. Rasanya... aku gak perlu menyebutkan komunitas apa itu, yang terpenting dalam satu komunitas ini aku bisa dekat dengan kamu. Dan ternyata aku baru tau, kamu itu orangnya gampang berteman sama siapa aja.